Beranda

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Selamat Datang Di Blog Seuntai Kenangan

01 April 2008

Ayat-Ayat Cinta, hati-hati Menontonnya

Menonton film Indonesia? Rasanya walaupun diberi imbalan HP Nokia terbaru saya kok memilih lebih baik menemani ponakan saya main petak-umpet..

Kenapa begitu? Film Indonesia, Sinetron Indonesia, setiap kali saya – tanpa sengaja – menontonnya, malah membuat saya seperti orang bodoh. Jalan ceritanya terlalu mudah untuk dicerna dan ditebak. Dialog-dialognya kosong dan tak ada yang memancing indera “keingin tahuan”. Personil yang main juga tidak didukung dengan karakter yang tajam. Aktingnya terasa
sekali dibuat–buat. Yang ditonjolkan hanya wajah-wajah cantik yang mengundang imajinasi porno para penontonnya.

Begitu juga dengan film Indonesia terbaru, Ayat-ayat Cinta (AAC). Tidak ada hal yang baru dalam alur ceritanya. Semuanya berputar-putar pada masalah primitif hawa nafsu manusia, hubungan lain jenis, yang 90 persen menjadi topik film dan sinetron Indonesia.

Kalau bukan karena istri saya yang merengek-rengek minta nonton film kacangan seperti itu, saya tak akan merepotkan diri membuang duit ke bioskop. Bujukan saya untuk membeli VCD bajakannya saja ternyata tidak mempan. “Kalau nonton di VCD kan bisa diulang-ulang
dan lebih murah,” rayu saya. Tapi bibirnya malah makin manyun, pipinya jadi merah, dan tubuh saya habis dicubitin. “Tapi ini bagus, Mas. Ceritanya Islami dan tentang poligami”, serunya. Wah, kalau alasan yang terakhir itu saya tertarik. Akhirnya sebagai suami yang sayang istri, saya pun dengan gentleman mengantarnya nonton.

Benar tuduhan saya terhadap film AAC. Jalan ceritanya membuat saya menguap berkali-kali. Topik yang disuguhkan tidak fokus. Ceritanya sendiri mengisahkan seorang mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Mesir. Di mana lagi kalau bukan di Universitas Al
Azhar yang kesohor itu. Tapi di situ tidak dijelaskan, sang bintang, yang bernama Fahri, mengambil fak apa, jurusan apa. Pokoknya kuliah, gitu aja.

Dan selama film berlangsung, saya menunggu-nunggu setting gambar fisik bangunan Al Azhar yang sudah berumur 1000 tahun itu. Tapi sampai film habis, tak diperlihatkan sama sekali suasana kampus, suasana para pemain yang sedang kuliah menuntut ilmu dengan dosen- dosennya yang brilian. Atau sebagian bentuk bangunan Al Azharnya. Malah pemandangan tangga kampus, yang menurut saya mirip tangga masuk masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, bukan Al Azhar Kairo.

Adegan pertama, terjadi dalam sebuah kereta api. Sang bintang menjadi “hero” dengan membela seorang wanita bercadar yang hendak ditampar seorang muslim radikal karena memberi tempat duduk pada ibu-ibu Amerika. Adegan diawali dengan sikap dan dialog para penumpang di kereta yang terasa mengada-ada. “Ada orang kafir lewat” begitu kira-kira mereka berkata. Padahal mereka adalah mahasiswa-mahasiswa yang tentunya punya rasa humanisme yang tinggi. Mesir adalah negara muslim yang moderat dan cenderung liberal. Jadi bukan hal aneh lagi kalau ada cewek asing lewat. Dan tak akan mungkin mereka mendisposisikan turis itu sebagai “kafir”
secara eksplisit. Attitude seperti itu sangat melecehkan warga Mesir (dan muslim), karena segitu banyak penumpang, masak tak ada yang mau memberi tempat duduk pada wanita tua, walaupun beda agama. Yang memberi tempat duduk malah seorang muslimah bercadar yang berkewarganegaraan Jerman, Aishah.

Seperti sinetron-sinetron lainnya, sang wanita yang dibela kemudian merasa simpati terhadap “pahlawannya” yang telah membelanya, apalagi wajah si pembela bonyok dihantam si penjahat. Di sini supaya lebih heroik sebenarnya si Fahri tidak perlu ditolong oleh kawan-kawannya. Dengan ilmu kanuragan ala Lamongan mustinya si Fahri bisa membela diri, gitu. Walaupun
nantinya si penjahat ternyata lebih sakti, dan si Fahri kalah.

Drama babak pertama berakhir dengan kemenangan si penjahat yang berteriak “Allahu Akbar”. Di sini saya bingung. Kenapa si antagonis, ekstrimis muslim yang keras kepala tersebut sampai akhir cerita tidak dimunculkan lagi. Ceritanya akan sedikit lebih bagus kalau orang yang mukul si Fahri tersebut kemudian menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan yang benar.

Sang Amerika yang ditolong Aishah ternyata adalah jurnalis yang sedang mengadakan penelitian mengenai Islam. Si Fahri, yang membela Aishah, ternyata kemudian dijadikan nara sumber. Dalam wawancara antara jurnalis dan Fahri nampak sekali kemiskinan dialog yang disuguhkan. Setiap pertanyaan si jurnalis selalu dijawab Fahri dengan singkat, ditambahi dengan kata,
“Semuanya sudah saya tulis di buku saya”. Kalau begitu, ngapain si jurnalis jauh-jauh datang dari Amrik, mendingan baca artikel tentang Islam di internet. Cukup dua pertanyaan saja yang dimunculkan di film itu. Lalu adegan berganti. Cewek amrik itu tak pernah dimunculkan lagi sampai film habis. Mustinya sutradara lebih jeli dengan memunculkannya di hari pernikahan Fahri.

Adegan berganti dengan acara ta’aruf antara Aishah dan Fahri. Si Fahri yang hanya anak penjual tape, ditaksir si Aishah yang anak konglomerat Jerman. Tokoh Aishah di sini sangat tidak mirip dengan wajah Jerman. Mungkin terlalu mahal untuk menyewa artis Jerman asli. Begitu juga dengan orang-orang Mesirnya, banyak yang gadungan. Disewa dari hasil pencarian di
pinggir-pinggir jalan Matraman (kasar amat. Sorry). Mereka hanya turunan. Untung hidungnya masih kelihatan mancung.

Walaupun si Fahri mengaku miskin, anak penjual tape (tapi bisa punya ongkos ke Mesir). Cinta Aishah tak terpatahkan. Semua biaya akan ditanggung pihak wanita. Enak tenaaan. Itulah sinetron. Padahal di dunia nyata, sekaya apa pun seorang perempuan, pasti dia akan
mencari lelaki yang lebih kaya.

Di antara kebingungan antara kawin dengan tidak kawin, si pemeran utama menemui gurunya. Di sini saya merasa sangat dilecehkan. Pertemuan murid dan guru sebuah perguruan prestisius setingkat Al-Azhar terjadi di sebuah ruangan gelap, mirip di sudut-sudut musholla, ketika seorang ustadz mengajar Iqra muridnya, di kampung saya. Mungkin si sutradara mengira, Al Azhar itu gak beda dengan halaqah-halaqah pengajian Kebon Jeruk, bukan universitas yang ada kursi dan bangkunya, lengkap dengan papan tulisnya.

Cerita singkatnya, si lakon kemudian “merit” dengan Aishah. Bulan madu dihabiskan di sebuah “kastil”. Di tengah suasana bulan madu, ternyata banyak gadis yang patah hati dengan menikahnya Fahri dengan Aishah. Salah satunya adalah Maryam. Maryam depresi berat
mengetahui Fahri kawin dengan wanita lain. Aneh. Padahal pacaran aja enggak. Kok bisa patah hati. Fahri adalah penganut Islam yang textual (walaupun tidak jenggotan). Bersalaman dengan perempuan saja tidak mau, apalagi mau berkhalwat (menyepi) dengan wanita yang bukan ibunya, kok tahu-tahu gadis-gadis bergelimpangan kehilangan gairah hidup mengetahui
Fahri tidak kawin dengan mereka. Aneh bukan? Nikmati saja. Udah terlanjur beli tiket.

Namun cerita bulan madu kedua sejoli itu tiba-tiba berubah berantakan, ketika si Fahri difitnah seorang wanita miskin yang merasa ditolak cintanya. Tuduhannya sangat berat, pemerkosaan. Tanpa alif, ba, ta, (gantinya ba, bi, bu) si Fahri dijebloskan ke penjara yang dipenuhi tikus. Sejorok itukah sebuah penjara di Mesir? Perlu klarifikasi.

Dalam adegan di penjara ini, si sutradara nampak sekali memaksakan unsur “dakwahnya” yang diklaim sebagai film bernuansa islami. Ketika si pengantin baru itu memarahi Tuhan, dan mengomeli nasibnya, rekannya satu sel memberi nasehat dengan kisah Nabi Yusuf. Amat sangat tidak klop. Dalam Ushul Fiqh, mengkiyaskan sesuatu dengan hal yang berbeda itu bathil. Nabi Yusuf, yang memfitnah adalah wanita bangsawan. Sedang di kisah AAC, seorang gadis miskin
yang patah hatilah yang memfitnah Fahri. Nabi Yusuf berdoa, lebih suka dipenjara daripada menuruti nafsu bejat para wanita bangsawan. Sedang Fahri tidak suka dipenjara, karena masih mencintai istrinya yang konglomerat.

Mustinya cerita AAC dibalik. Si gadis miskin itulah yang menikah dengan Fahri. Lalu Aishah datang menggodanya, dengan segala kekuasaan harta dan kecantikannya. Pasti ceritanya lebih seru. Baru cerita Nabi Yusuf terasa lebih mirip dijadikan dalil.

Seandainya sutradara punya instink yang lebih kreatif, tokoh yang menjadi rekan satu penjara dengan si Fahri adalah si muslim radikal yang muncul di adegan pertama di atas. Alasan dijebloskannya ke penjara karena terkait pasal-pasal terorisme. Sedang Fahri karena tuduhan pemerkosaan. Terus si Fahri, dengan kecerdasan emosional dan intelektualnya berhasil menyadarkan si teroris. Bukannya mencak-mencak meratapi nasib (Merengek seperti keponakan saya kehilangan baju Spiderman). Sebuah adegan klise dari sineas Indonesia. Dapat hadiah, nangis. Dapat musibah, nangis. Ditinggal ke pasar, nangis. Ditinggal suami, meraung- raung.

Kembali ke pokok persoalan. Istri si Fahri ternyata bukan tipe gadis cengeng yang menyerah begitu saja pada nasib. Dia berusaha sebisa mungkin membebaskan suaminya. Penonton film ini terasa sekali dipaksa untuk merasa bahwa perjuangan Aishah sangat berat. Tapi penggambarannya sangat hambar. Rintangan-rintangan yang dilalui istri Fahri terlalu mudah diselesaikan. Tanpa kesan yang menggigit. Tahu-tahu si Fahri bisa keluar penjara.

Ternyata saksi kunci bahwa Fahri bukan pemerkosa ada pada Maryam, yang sedang sekarat karena patah hati dan ketabrak mobil. (entah kenapa para penonton seperti tidak bosan- bosannya disuguhi adegan wanita stress ketabrak mobil). Entah dapat ide dari mana, si wanita
Jerman itu tiba-tiba saja meminta Fahri mengawini Maryam. Tentu saja si Fahri tidak mau. Tapi karena melihat kondisi Maryam yang semakin koma, akhirnya beliau mau juga.

Kembali di sini saya bertanya-tanya. Setahu saya, pernikahan dalam Islam itu harus dilakukan dalam keadaan sadar oleh semua pihak. Sedangkan dalam film ini, si Maryam kondisinya koma alias tidak sadar. Kok bisa dinikahkan oleh para pemeluk islam yang taat? Atau ada mazhab baru yang membolehkannya? Kalau ada, sangat berbahaya. MUI harus bertindak. Sebab diilhami
film ini, bisa saja nanti seorang lelaki menikahi wanita pujaannya yang sedang tidur. Begitu juga
sebaliknya. Tak peduli wanita atau lelaki itu suka atau tidak suka.

Kita lanjutkan kisah aneh AAC. Di adegan pernikahan kedua si Fahri, penonton diuji imajinasinya. Atau sutradara ingin menyembunyikan fakta bahwa di Mesir para pemudanya juga doyan pacaran seperti di Indonesia? Karena ternyata si Maryam begitu menaruh hati pada Fahri sesuai buku hariannya. Dan si Fahri pun ternyata buaya. Dalam kealimannya ternyata dia mencintai Maryam. Dan keduanya sering ngobrol (atau pacaran?) di tepi sungai Nil. Jadi mana unsur dakwahnya? Film ini tak ubahnya cerita-cerita roman sinetron yang mengisi prime time di TV-TV kita. Hanya bungkusnya Al Azhar, sungai Nil, dan tulisan-tulisan Arab, serta wajah- wajah Indo-Arab.

Terlepas dari sah atau tidaknya pernikahan si Fahri dengan Maryam, ketiga makhluk berlainan jenis itu kemudian bisa hidup bahagia dalam satu rumah. Tentu saja di rumahnya Aishah. Tapi sayang, sutradara malah memilih “mematikan” tokoh Maryam, istri kedua Fahri. Hanya saja kematiannya sengaja didramatisir, terjadi ketika Maryam sedang shalat dalam keadaan berbaring. Endingnya tetap saja meniru tokoh Cinderella dan pangeran yang hidup bahagia berdua selama-lamanya. Kehadiran Maryam dirasa mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Film ini memang diangkat ke layar lebar dari Novel dengan judul yang sama, Ayat-Ayat Cinta. Tapi si pembuat film tidak mau sedikit berimprovisasi, mengubah sedikit jalan ceritanya supaya lebih pas disuguhkan di layar lebar, yang punya durasi kurang dari 2 jam. Novel adalah cerita yang tidak bisa habis dalam sehari bisa dibaca (kecuali yang membaca tak punya kesibukan
cari duit). Dan tak akan muat bila dijejalkan dalam waktu 150 menit.

Kalau film ini tak ada istimewanya dengan sinetron-sinetron lainnya, kenapa laris? Bahkan
kabarnya sampai tulisan ini diketik, sudah 2 juta tiket terjual. Tentu saja karena memang kemampuan penonton kita baru sampai segitu. Terus topiknya sedikit menyinggung poligami dan benuansa islami. Tapi menurut saya tidak islami, sebab, kalau memang mau menyuguhkan kisah yang islami, ending cerita mustinya berakhir dengan ketiganya yang hidup bahagia dalam satu rumah. Kalau perlu wanita yang telah menuduh si Fahri memperkosanya juga dinikahi. Begitu juga mantan kekasihnya di kampung yang stress berat, juga dinikahi. Jadi istrinya empat. Hidup dalam satu rumah. Hidup happily ever and after. Mungkin belum ada sutradara dan produser yang berani membikin film seperti itu. Nantilah, saya yang bikin. Tapi mau praktek dulu.

Wassalam

*Artikel ini saya Copy Paste dari Mediacare yang ditulis oleh M. Abdulah

3 komentar:

  1. Assalam Mu alaikuam pak..
    Wah kayaknya nya si penulis belum pernah baca novel AAC, klo belum silahkan mampir ke blog saya..jadi memang kisah ini mengambil dari Novel yang populer dari karya Habiburahman yang penuh unsur dakwah... jadi ya harus disesuaikan dengan novel juga dong filmnya... waluapun kenyataannya di film unsur dakwahnya banyak di hilangkan...

    BalasHapus
  2. Siiip.. saya sebenarnya juga pusing dengan tema film yang dimunculkan para sineas/ sutradara. Saya cukup tertegun dengan tulisan ini. Sebuah pelajaran berharga...

    BalasHapus
  3. Saya sangat kagum akan novel ayat-ayat cinta (tulisan kang abik) walaupun sy ada di malaysia sy berusaha cari novel itu.... dan masya Allah .... kita akan lihat sebuah gambaran Islam yang cantik, elok.... dan sememangnya harus seperti itu....

    Mengenai penulis yang tidak suka dengan film AAC, sy memaklumi (sypun agak kecewa ketika melihat film bila sy bandingkan dengan bukunya)> Semoga akan lahir sutradara/sineas yang hebat seperti Kang Abik dalam Karya Novelnya. Insya Allah.

    Untuk penulis diatas, coba baca novelnya ... insya Allah akan terasa lain....

    BalasHapus

Lima (5) Indeks Posting Terakhir